BAB 1
Aku akan menceritakan tentang seorang gadis dan kehidupannya. dia gadis yang terkenal aneh, tak jarang banyak yang menganggapnya berbeda dan menganggap dia gila, aku bingung, anggapan "gila" berasal dari mana? Apa yang telah gadis itu lakukan? Mungkin aku harus menceritakan tentangnya sewaktu dia kecil karna aku menganggapnya gadis yang unik.
Dia tinggal di pedesaan, pelosok dan terpencil, jauh dari kota, kehidupan masa kecilnya boleh dibilang bahagia, tapi itu tak sepenuhnya benar kata dia, maka dari itu aku akan menceritakannya biar kalian tau seperti apa gadis itu.
Dia lahir dari keluarga yang sederhana, terdiri dari ayah, ibu dan seorang kakak, dia tak punya teman perempuan, barang satu pun perempuan di kelasnya, tak bisa dia namakan teman. Dia kesepian, aku rasa, sampai dia bertemu dengan teman khayalannya, seorang pria yang seumuran dengannya, kalem dan mendengarkan semua keluh kesah gadis itu, semakin bertambahnya umur, teman khayalan gadis itu perlahan hilang, di gantikan dengan tetangga pria yang mau berteman dengannya, masih tak punya teman perempuan karena kata si gadis, anak perempuan di kelas takut sama ibunya "ibumu loh baik padahal" ucapku padanuk membenci ibunya, didikan yang tegas dan kasar sering is itu tidak akan percaya, ternyata aku salah, dia benar-benar mempercayainya, bahkan menangis mendengar omongan tersebut, "hahaha gadis yang sangat polos".
Aku suka melihat wajah polosnya, matanya yang lebar dan tawanya yang ringan tanpa di paksakan seakan hidupnya tanpa beban.
Sering kali juga dia bercerita tentang perjalanan pulangnya saat berangkat dan pulang sekolah, aku mendengarkannya dan sesekali menanggapinya dengan senyuman, "tak bosan ya kau bercerita tentang kamu pulang sendirian dan sering berbicara sendiri dengan teman khayalanmu?" Tanyaku.. dia menjawab dengan tawanya yang ringan, benar-benar tanpa beban.
Ada satu cerita yang membuatku ingin tertawa, tapi dia merengek meminta janji kelingkingku untuk tak pernah menertawakan hal ini, aku pun menyetujuinya, gadis itu bilang kalau dia pernah pergi dari rumah dan ke rumah neneknya, bersembunyi di bawah meja sehari semalam, tanpa ketahuan. "Apa yang lucu dari hal ini?" Pikirku, dia pun meneruskan ceritanya, karna bersembunyi selama itu, dia tidak pergi kemana-mana, sampai hasrat ingin buang air kecil pun datang, dia masih kukuh untuk sembunyi, hingga akhirnya memilih kencing di celana. Aku ingin tertawa mendengar hal ini, tapi aku sudah berjanji untuk tidak menertawakannya, janji yang lumayan merepotkan.
Dia ingin sekali di perhatian menurutku, dari cerita-cerita tentang imajinasinya, dia bertemu banyak orang, menjadi pembawa acara, dan monolog sendiri.
Gadis itu masih asik menceritakan kehidupannya waktu smp, yang sekarang ini aku ceritakan, masa smp nya tergolong indah di awal, dia menemukan teman perempuan, ya meskipun tak semua menganggap dia ada, gadis itu terlalu fokus untuk mencari teman dan pembuktian agar di anggap ada, "gila! Segitunya kau mau punya teman?".
Dia juga bercerita, pernah mengagumi guru ekstrakulikuler volly, memanggilnya sebagai Papa, "kenapa kok papa?" Dia hanya menjawab dengan senyuman, aku pun tak bertanya lebih. Aku baru ingat dia punya kakak perempuan yang beberapa tahun lebih tua dari padanya, "bukannya waktu smp kalian satu sekolah?"
"Benar" jawabnya dengan tatapan sedih,
"Ceritakan saja"
Dia mulai bercerita lagi, sewaktu smp kakaknya tak berharap gadis itu di kenal teman-temannya, bahkan ketika ketemu tak saling sapa, tak saling mengakui bahwa mereka bersaudara, sampai kelas 3 smp, gadis itu dan kakaknya mulai akur, meskipun si kakak sudah tak lagi bersekolah di situ, gadis itu bilang, akan menjadi beban bila banyak yang tau dia adik dari kakaknya, aku mengerti situasi ini, kakaknya lebih populer.
Ekspresi gadis itu berubah lagi menjadi ceria, sepertinya akan ada cerita yang bahagia, dugaanku benar ternyata, dia menceritakan tentang teman sekelasnya waktu kelas 8, pertama kalinya sejajar dengan anak-anak yang mayoritas mempengaruhi bagi sekolah, seperti halnya anak guru, dia memperkenalkan aku dengan satu nama "tak kusebutkan" dia anak dari guru, baik dan loyal kata gadis itu, meskipun beberapa orang ada yang tak suka dengan dia karena sedikit sombong, gadis itu juga menceritakan tentang dua anak yang membantunya belajar, membantunya memahami pelajaran, tiba-tiba gadis itu berseru "lohh aku masih menyimpan kenangan dari mereka". Gadis itu merogoh sesuatu di dalam tas hitamnya, ternyata dompet, dan dia menunjukkan sesuatu padaku, sebuah kertas yang sudah lecek, "ini loh dari mereka" katanya bahagia dengan mata yang berbinar.
Di kenaikan kelas dia bercerita kalau harus pindah kelas, bertemu dengan teman-temannya sewaktu kelas satu, meskipun banyak yang individualisme, gadis itu masih mendapatkan teman, "bersyukur kau punya teman kan" Dia membalas dengan anggukan kecil seakan masih tak terima dengan pernyataanku. "Ada hal menyakitkan yang ingin ku ceritakan, rasa sakitnya masih membekas" matanya mulai menitikan air mata, "tak perlu bersedih, bukannya semua sudah berlalu?" Dia pun tertawa dengan kerasnya, matanya masih mengalir air mata, "sok kuat ya ternyata" batinku.. aku tersenyum melihat kelakuan gadis kecil di depanku yang mencoba untuk menutupi tangisnya dengan tawanya.
Gadis itu masih tertawa dan bercerita, tentang keluarganya yang sempat akan broken home, tawanya makin keras saat dia mengatakan dari mana gadis itu dapatkan info tersebut, aku merasa mataku perih, terbakar, tetapi aku tak boleh menangis di hadapannya, betapa sok kuatnya anak ini, bukankah menangis terkadang melegakan masalah?. Gadis itu masih menangis dan tertawa, menceritakan semuanya dengan tawa seakan itu bukan jadi masalah, dia bilang, dia adalah pelarian dari semua amarah ibunya, ibunya tak pernah cerita apapun, hanya menjawab dengan nada gusar ketika gadis itu bertanya tentang ayahnya.
Tiba-tiba tawanya berhenti tapi dia masih menangis, "apa yang salah?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa ada cerita lain? Atau cerita telah selesai sampai disini? Dia menatapku lama, seperti bertanya apa dia harus bercerita lagi atau sudahi, aku membalasnya dengan senyuman tulus dari hati, aku tau dia masih ingin cerita, "tenangkan dirimu dahulu" dia pun tersenyum.
Dia menarik nafas panjang, sepertinya dia akan nenceritakan masa sma nya, bukankah setelah smp adalah masa sma? gadis itu bercerita kembali tentang bagaimana dia mempertahankan pendapatnya dan argumennya kalau sekolah SMK tak buruk juga, dia berdebat dengan ibunya, hingga akhirnya gadis itu memilih pergi dari rumah, tak pernah pulang dan menetap di rumah neneknya, kala sang ibu mencari, anak itu bersembunyi, sama seperti di saat dia masih kecil, "kenapa kau tak turuti ibumu?"
"Kakak bukannya sudah besar? Sudah bisa berpikir kan? Apa ceritaku di masa lalu kurang? Agar kakak mengerti kepribadianku?"
Jawabannya menusuk dan menyayat hati, aku tak peka, dan aku baru sadar ternyata cerita tentang hidupnya adalah cerminan dan pembangun sifatnya sekarang, betapa bodohnya aku,
"Kau takut mereka tak menerimamu?" Tanyaku dengan pelan dan tergagap, dia hanya membalas dengan senyuman, senyum itu! Semakin menyayat hati, apa aku salah bertanya? Bodoh aku! Bodohnya aku!
Dia kembali melanjutkan ceritanya, dia bilang kalau yang mengantarkan dirinya daftar adalah orang lain, bukan dari keluarganya, dia sendirian, mendaftar sendiri dan tes sendiri, lingkungannya berbeda dengan smp, berbeda sekali katanya.
"Bagaimana kehidupanmu waktu smk?"
"Kacau hehehe" jawabnya dengan tertawa, kenapa tawa itu lagi? Kenapa?
"Kok bisa?"
"Harus ya dijawab?" Tawanya makin kencang dan aku balas dengan senyuman, Aku mulai mengerti, mengapa dia seperti itu.
"Aku sering hilang kendali, dan aku benci hal itu, kakak tau? Aku sangat-sangat benci diriku di masa lalu, dan masa sekarang"
"Ceritakan lagi masa lalumu kalau berkenan"
Dia kembali memulai cerita untuk yang kesekian kalinya, dia menceritakan disaat dia kelas 2 smk, kenapa tak dari kelas 1? Apa yang disembunyikan dia? Apa yang dia lakukan waktu kelas 1?
Dia tinggal di pedesaan, pelosok dan terpencil, jauh dari kota, kehidupan masa kecilnya boleh dibilang bahagia, tapi itu tak sepenuhnya benar kata dia, maka dari itu aku akan menceritakannya biar kalian tau seperti apa gadis itu.
Dia lahir dari keluarga yang sederhana, terdiri dari ayah, ibu dan seorang kakak, dia tak punya teman perempuan, barang satu pun perempuan di kelasnya, tak bisa dia namakan teman. Dia kesepian, aku rasa, sampai dia bertemu dengan teman khayalannya, seorang pria yang seumuran dengannya, kalem dan mendengarkan semua keluh kesah gadis itu, semakin bertambahnya umur, teman khayalan gadis itu perlahan hilang, di gantikan dengan tetangga pria yang mau berteman dengannya, masih tak punya teman perempuan karena kata si gadis, anak perempuan di kelas takut sama ibunya "ibumu loh baik padahal" ucapku padanuk membenci ibunya, didikan yang tegas dan kasar sering is itu tidak akan percaya, ternyata aku salah, dia benar-benar mempercayainya, bahkan menangis mendengar omongan tersebut, "hahaha gadis yang sangat polos".
Aku suka melihat wajah polosnya, matanya yang lebar dan tawanya yang ringan tanpa di paksakan seakan hidupnya tanpa beban.
Sering kali juga dia bercerita tentang perjalanan pulangnya saat berangkat dan pulang sekolah, aku mendengarkannya dan sesekali menanggapinya dengan senyuman, "tak bosan ya kau bercerita tentang kamu pulang sendirian dan sering berbicara sendiri dengan teman khayalanmu?" Tanyaku.. dia menjawab dengan tawanya yang ringan, benar-benar tanpa beban.
Ada satu cerita yang membuatku ingin tertawa, tapi dia merengek meminta janji kelingkingku untuk tak pernah menertawakan hal ini, aku pun menyetujuinya, gadis itu bilang kalau dia pernah pergi dari rumah dan ke rumah neneknya, bersembunyi di bawah meja sehari semalam, tanpa ketahuan. "Apa yang lucu dari hal ini?" Pikirku, dia pun meneruskan ceritanya, karna bersembunyi selama itu, dia tidak pergi kemana-mana, sampai hasrat ingin buang air kecil pun datang, dia masih kukuh untuk sembunyi, hingga akhirnya memilih kencing di celana. Aku ingin tertawa mendengar hal ini, tapi aku sudah berjanji untuk tidak menertawakannya, janji yang lumayan merepotkan.
Dia ingin sekali di perhatian menurutku, dari cerita-cerita tentang imajinasinya, dia bertemu banyak orang, menjadi pembawa acara, dan monolog sendiri.
Gadis itu masih asik menceritakan kehidupannya waktu smp, yang sekarang ini aku ceritakan, masa smp nya tergolong indah di awal, dia menemukan teman perempuan, ya meskipun tak semua menganggap dia ada, gadis itu terlalu fokus untuk mencari teman dan pembuktian agar di anggap ada, "gila! Segitunya kau mau punya teman?".
Dia juga bercerita, pernah mengagumi guru ekstrakulikuler volly, memanggilnya sebagai Papa, "kenapa kok papa?" Dia hanya menjawab dengan senyuman, aku pun tak bertanya lebih. Aku baru ingat dia punya kakak perempuan yang beberapa tahun lebih tua dari padanya, "bukannya waktu smp kalian satu sekolah?"
"Benar" jawabnya dengan tatapan sedih,
"Ceritakan saja"
Dia mulai bercerita lagi, sewaktu smp kakaknya tak berharap gadis itu di kenal teman-temannya, bahkan ketika ketemu tak saling sapa, tak saling mengakui bahwa mereka bersaudara, sampai kelas 3 smp, gadis itu dan kakaknya mulai akur, meskipun si kakak sudah tak lagi bersekolah di situ, gadis itu bilang, akan menjadi beban bila banyak yang tau dia adik dari kakaknya, aku mengerti situasi ini, kakaknya lebih populer.
Ekspresi gadis itu berubah lagi menjadi ceria, sepertinya akan ada cerita yang bahagia, dugaanku benar ternyata, dia menceritakan tentang teman sekelasnya waktu kelas 8, pertama kalinya sejajar dengan anak-anak yang mayoritas mempengaruhi bagi sekolah, seperti halnya anak guru, dia memperkenalkan aku dengan satu nama "tak kusebutkan" dia anak dari guru, baik dan loyal kata gadis itu, meskipun beberapa orang ada yang tak suka dengan dia karena sedikit sombong, gadis itu juga menceritakan tentang dua anak yang membantunya belajar, membantunya memahami pelajaran, tiba-tiba gadis itu berseru "lohh aku masih menyimpan kenangan dari mereka". Gadis itu merogoh sesuatu di dalam tas hitamnya, ternyata dompet, dan dia menunjukkan sesuatu padaku, sebuah kertas yang sudah lecek, "ini loh dari mereka" katanya bahagia dengan mata yang berbinar.
Di kenaikan kelas dia bercerita kalau harus pindah kelas, bertemu dengan teman-temannya sewaktu kelas satu, meskipun banyak yang individualisme, gadis itu masih mendapatkan teman, "bersyukur kau punya teman kan" Dia membalas dengan anggukan kecil seakan masih tak terima dengan pernyataanku. "Ada hal menyakitkan yang ingin ku ceritakan, rasa sakitnya masih membekas" matanya mulai menitikan air mata, "tak perlu bersedih, bukannya semua sudah berlalu?" Dia pun tertawa dengan kerasnya, matanya masih mengalir air mata, "sok kuat ya ternyata" batinku.. aku tersenyum melihat kelakuan gadis kecil di depanku yang mencoba untuk menutupi tangisnya dengan tawanya.
Gadis itu masih tertawa dan bercerita, tentang keluarganya yang sempat akan broken home, tawanya makin keras saat dia mengatakan dari mana gadis itu dapatkan info tersebut, aku merasa mataku perih, terbakar, tetapi aku tak boleh menangis di hadapannya, betapa sok kuatnya anak ini, bukankah menangis terkadang melegakan masalah?. Gadis itu masih menangis dan tertawa, menceritakan semuanya dengan tawa seakan itu bukan jadi masalah, dia bilang, dia adalah pelarian dari semua amarah ibunya, ibunya tak pernah cerita apapun, hanya menjawab dengan nada gusar ketika gadis itu bertanya tentang ayahnya.
Tiba-tiba tawanya berhenti tapi dia masih menangis, "apa yang salah?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa ada cerita lain? Atau cerita telah selesai sampai disini? Dia menatapku lama, seperti bertanya apa dia harus bercerita lagi atau sudahi, aku membalasnya dengan senyuman tulus dari hati, aku tau dia masih ingin cerita, "tenangkan dirimu dahulu" dia pun tersenyum.
Dia menarik nafas panjang, sepertinya dia akan nenceritakan masa sma nya, bukankah setelah smp adalah masa sma? gadis itu bercerita kembali tentang bagaimana dia mempertahankan pendapatnya dan argumennya kalau sekolah SMK tak buruk juga, dia berdebat dengan ibunya, hingga akhirnya gadis itu memilih pergi dari rumah, tak pernah pulang dan menetap di rumah neneknya, kala sang ibu mencari, anak itu bersembunyi, sama seperti di saat dia masih kecil, "kenapa kau tak turuti ibumu?"
"Kakak bukannya sudah besar? Sudah bisa berpikir kan? Apa ceritaku di masa lalu kurang? Agar kakak mengerti kepribadianku?"
Jawabannya menusuk dan menyayat hati, aku tak peka, dan aku baru sadar ternyata cerita tentang hidupnya adalah cerminan dan pembangun sifatnya sekarang, betapa bodohnya aku,
"Kau takut mereka tak menerimamu?" Tanyaku dengan pelan dan tergagap, dia hanya membalas dengan senyuman, senyum itu! Semakin menyayat hati, apa aku salah bertanya? Bodoh aku! Bodohnya aku!
Dia kembali melanjutkan ceritanya, dia bilang kalau yang mengantarkan dirinya daftar adalah orang lain, bukan dari keluarganya, dia sendirian, mendaftar sendiri dan tes sendiri, lingkungannya berbeda dengan smp, berbeda sekali katanya.
"Bagaimana kehidupanmu waktu smk?"
"Kacau hehehe" jawabnya dengan tertawa, kenapa tawa itu lagi? Kenapa?
"Kok bisa?"
"Harus ya dijawab?" Tawanya makin kencang dan aku balas dengan senyuman, Aku mulai mengerti, mengapa dia seperti itu.
"Aku sering hilang kendali, dan aku benci hal itu, kakak tau? Aku sangat-sangat benci diriku di masa lalu, dan masa sekarang"
"Ceritakan lagi masa lalumu kalau berkenan"
Dia kembali memulai cerita untuk yang kesekian kalinya, dia menceritakan disaat dia kelas 2 smk, kenapa tak dari kelas 1? Apa yang disembunyikan dia? Apa yang dia lakukan waktu kelas 1?
Dia bilang waktu kelas 2 ada anak baru, gadis itu pun sepertinya mau menjalin pertemanan dengan anak baru itu, ternyata pergaulan dari anak baru itu sangat-sangat dalam dan gelap, aku bahkan sudah mengira kalau gadis kecil ini akan masuk dalam pergaulan itu. Mata gadis memerah, menahan air mata lagi, ya kesekian kali dia mau terlihat sok tegar dihadapanku, apa tidak lelah dalam ber pura-pura? "Aku pernah bolos sekolah kak" dia menatapku dengan mata merahnya, "sampai masuk ke ruang kepala sekolah, aku sempat menyesal, tapi memang sudah salahku, kenapa harus mengelak? Ya kan kak?" Aku tersenyum, bingung mau menjawab apa.
"Ini sebagai penutup ceritaku kak, aku iri kak, benar - benar iri sama mereka yang senasib, bahkan lebih buruk dari aku, tetapi dapat kenalan bagus, hidupku gak buruk kok, cuma saat itu aku salah kenal. Terima kasih" ucapnya terakhir kali sebelum meninggalkanku, dan sebuah senyum kecil dia berikan kepadaku sebagai tanda perpisahan.
No comments:
Post a Comment