Aku tak pernah
menyangka akan melakukan hal ini lagi, sebuah perjalanan yang rasanya pernah
aku lakukan, ada hal berbeda dari perjalananku kali ini, aku tak sendiri
ataupun aku tak bersama seseorang, tapi aku bersama mereka, manusia manusia
unik yang telah aku anggap sebagai keluargaku sendiri, meskipun sekarang aku
mulai meragukan hal itu, apa aku benar-benar telah mereka anggap sebagai
keluarga atau hanya sekedar mahasisawa yang ikut diklat SM? Haruskah aku peduli
akan hal itu? Jawabannya jelas iya!.
Perjalanan
kecilku ini dimulai dari kampusku Universitas Trunojoyo setelah magrib, akan
aku ceritakan semua secara rinci disini, apa yang aku alami, apa yang aku
rasakan, susah senang dan ilmu apa yang aku dapatkan dari perjalanku ini.
Pejalanan yang menguak arti kehidupan meskipun dari awal aku tak pernah tau
tujuanku kemana, mereka pun senasib denganku, tak tau arah tujuan, hingga
sebuah arahan dari senior yang mengatakan harus berjalan kaki sampai pertigaan
tempat dimana para bemo mencari pelanggan untuk diantar.
Kami berbekal
seadanya, siapa yang tau, dari kami tak ada yang mandi bahkan menyentuh air
untuk cuci muka pun belom, kami berbekal satu botol minuman dan uang 50 ribu
per anak, apakah itu cukup untuk perjalanan teka teki ini? Aku rasa ‘mungkin’
cukup untukku, tak tau untuk yang lain, aku menduga kami akan dipisah,
individual, ternyata aku salah, semua uang bekal kami, di kumpulkan menjadi
satu, inilah rasa kekeluargaan itu mulai di uji, bagaimana kami bisa berangkat
bersama dan pulang dengan selamat bersama, kami pun mulai berjalan menuju
arahan dari senior, aku tak merasa perjalanku itu jauh, aku suka jalan kaki,
meng eksplor jalan dengan kakiku, meskipun ada kalanya aku iri dengan mereka,
yang bisa meng eksplor jalan dengan motor mereka.
Aku akui ini
perjalanan pertamaku bersama orang banyak, aku lebih sering sendiri atau berdua
bersama teman smk ku dulu, dia yang mengajarkanku keberanian untuk naik
angkutan umum sendiri, mengajarkanku tentang etika saat naik bis, bahkan dia
yang mengajariku cara mengenali orang baik atau buruk di dalam angkot, dia
gadis yang manis dan tempatku belajar banyak tentang arti kehidupan.
Baru sadar aku,
ternyata malam ini adalah malam minggu, aku melihat beberapa hal kecil ketika
malam minggu, tapi aku merasa ada yang berbeda dari malam ini, kenapa tak
seramai minggu lalu? Kenapa jalanan tak sepenuh minggu? Apa karena banyak
mahasiswa yang menjadi merpati dan pulang kesangkarnya? Iri aku akan hal ini,
kenapa aku yang susah pulang? Kenapa kakakku semudah itu pulang? Aku mulai
sering berpikir kegiatanku selama ini kayaknya hanya sia-sia.
Setiap langkah
kaki kami, selalu di iringi canda tawa, kami sadar, kalau hanya berjalan kaki
dalam diam hanya akan membuat perjalananmu merasa jauh dan lelah, aku sangat
suasana ini, aku merasa nyata, merasa benar-benar ada, mungkin ini rasanya di
anggap ‘ada’ oleh orang banyak, indah dan menyenangkan.
Kami sampai di
pertigaan seperti arahan senior, kami mulai menunggu datangnya angkot, lama,
aku benci menunggu, menunggu itu membuatku sesak nafas dan merasa seolah
semestaku menyempit bahkan tak muat untukku. Aku mungkin lupa untuk
memperkenalkan ‘kami’ disini, kami terdiri dari, aku Intan, Widya, Badria, Irma,
dan Senly, serta anak cowok yang terdiri dari Surya, Amir, Ikhwa, Yusron dan Safir.
Kami pas bersepuluh meskipun aku sempat berharap adinda dan kiki dapat
mengikuti kegiatan ini. Aku rasa bukan hanya aku yang benci menunggu tapi kami
pun benci dengan kegiatan itu, dengan modal berani kami berniat ikut menumpang
perjalanan dengan pick up, tapi kenapa senior tak mau hanya karena alasan
kurang sopan? Kurang sopan dalam hal apa?. Seharusnya angkutan umum ramai lalu
lalang di malam minggu, bukannya malam minggu banyak mahasiswa yang masih ingin
pulang? Atau si supir tau kalau mahasiswa lebih banyak yang pulang di malam
jumat dan malam sabtu?. Kami menunggu dalam ketidak pastian lagi, menunggu
angkot lewat yang ntah kapan itu tak ada yang tau, aku kira ini akan lama
ternyata tuhan berpihak pada kami, angkot sepi dan bisa di nego pun kami
dapatkan.
Di dalam angkot
sangatlah sempit, ini salah satu alasan kenapa aku benci naik angkot, tapi mau
gimana lagi, transport yang murah hanya angkot, poor intan! Terasa sangat lama
perjalanan menuju pelabuhan atau hanya firasatku saja karena aku tak suka
berlama lama di dalam angkot, kenapa aku susah sekali untuk diam?, kenapa aku
tak bisa stay cool seperti Surya atau kalem seperti Senly? Aku benci ke
heningan, keheningan hanya akan membuatku berpikir bahwa aku itu tak nyata, tak
benar benar ada di antara mereka, maka dari pada senior yang terus berbicara,
aku pun mulai mengikuti alur pembicaraan mereka, mulai dari bahasan esai, puisi
sampai ke novel favorit, pembicaraan kecil seperti ini sangat efektif untuk
melupakan sejenak kalau sedang dalam perjalanan menuju pelabuhan.
Pelabuhan di
malam hari, tiga kata terlintas di pikiranku “tak seperti terminal”. Aku
mengira bahwa pelabuhan akan seramai terminal, ternyata aku salah, meskipun aku
tetap melihat beberapa pedagang dan perempuan malam di pelabuhan, hal berbeda
dari apa yang aku liat adalah para pemancing di sekitar pelabuhan, ombak se
kencang ini apa ada ikan? ini juga pertama kalinya aku naik kapal di malam
hari, firasatku sudah tak enak, karena aku benci terombang ambing di lautan,
itu semua membuatku pusing dan mual, apalagi kapal di malam hari sangat
menakutkan, lautan yang gelap tanpa cahaya menambah kesan menyeramkan, aku
benar-benar benci laut. Sudah kuduga, aku akan mabuk laut, meskipun tak sampai
muntah, hanya sekedar mual dan pusing, ditambah hembusan asap rokok dari ikhwa
dan amir yang duduknya tepat dibelakangku, menambah rasa tak nyaman di
perjalanan, aku berharap segera sampai di pelabuhan selanjutnya, aku memang
lemah dalam hal menaiki angkutan umum.
Sampai di sini
aku mulai tau tujuan dari perjalanan ini yaitu TP, Tunjungan plaza tempatnya
kaum elit dan ber gengsi tinggi, aku belom pernah ke sini dan ini pertama
kalinya aku kesini, pertama yang aku liat dari TP adalah orang orang keturunan
kaum kulit putih dan sipit, kenapa sangat mendominasi?. dan siapa sangka tugas
awal baru di mulai dari sekarang, kami di pecah menjadi 5 kelompok, cewek dan
cowok setiap kelompok di beri tugas untuk berbaur dan mewawancai tanpa harus
ketauan kalau kami adalah seorang mahasiswa, betapa susahnya berbaur dengan
makhluk makhluk sosial berkelas tinggi sedangkan style kami layaknya orang
kampungan masuk mall, ingin ku mengeluh karena setiap perjalanku selalu dapet
tatapan buruk, apa mereka berpikir kalau aku annoying? Menjijikkan? Unik? Atau
aneh? Susah menebak pikiran manusia meskipun dari tatapan mata mereka sudah
terlihat sangat jelas. Aku bahkan lupa menyebutkan kalau aku di TP di pasangkan
dengan ikhwa, postur tubuh yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat seperti
kakak, setidaknya style Ikhwa lebih mendukung dari pada aku, yang benar benar
sukses untuk dinamakan wawancara adalah wawancara kepada cleaning service dan sekuriti,
untuk pengunjung, jangan bertanya, aku gagal total, lebih banyak mendapatkan
respon negatif, kenapa mereka banyak yang apatis?
Selesai sudah
dari TP, senior memberi arahan lagi kepada kami, kemana tujuan kami
selanjutnya? Menunggu lagi di halte, benar-benar malam yang menguji kesabaran,
dengan kami, muka muka lelah yang bingung menunggu bus kota untuk ke tujuan
selanjutnya, sebenarnya kemana arah tujuan kami? Apa itu hal yang dapat
mengejutkanku? Jawabannya ternyata sangat simple yaitu Taman Bungkul, apa yang
akan kami lakukan disini? Aku sudah menduganya kalau kami akan berbaur lagi,
tak sama seperti kelompok yang telah di bagi di TP, aku mendapat partner
berbeda yaitu amir, dia cowok yang banyak omong bila sudah kenal dekat, tetapi
sangat pemalu dan susah mengawali suatu pembicaraan, susah-susah gampang
berpartner sama Amir. Sampai saat ini aku lebih suka berbaur sendiri, susah bila
Bersama partner karena partnerku saat ini sedikit susah untuk berbaur maka dari
itu aku memilih sendiri dan menunggu partnerku menghampiriku untuk membantuku
dalam mengumpulkan topik pembahasan, aku paling suka saat mewawancarai
komunitas baca buku disurabaya. “TAMAN BACA MAHARDIKA” Namanya, pas banget aku
bertemu orang yang ramah dan friendly seperti kak Gangsar, di liat dari tatapan
mukanya, kak Gangsar sepertinya tau kalau kami mahasiswa tapi dengan sejuta
alasan kami berbohong untuk menutupi hal itu. Hal buruk yang harusnya tak boleh
aku lakukan, aku mulai bertanya tanya soal komunitas tersebut, mulai basa basi
hingga hal serius seperti bisa kah aku membuka cabang komunitas baca buku untuk
daerah kotaku, Lamongan? Kak Gangsar membalasnya dengan antusias “tentu saja
boleh, kumpulkan anggota dan mari kita tingkatkan Indonesia membaca” oh sangat inspiratif
sekali buatku. Wawancara berkesanku selanjutnya adalah saat aku mewawancarai
nenek-nenek penjual kacang, demi apa aku yang tak punya uang harus mendapat
pemberian dengan percuma dari seorang nenek? Harga diriku sebagai masyarakat
yang mengerti keadilan sosial mana? Nenek tua penjual kacang itu terlalu baik,
aku terharu melihat nenek masih berjualan di usia tak lagi muda, apalagi alasan
nenek berjualan adalah alasan yang tak masuk akal, hanya ingin jalan-jalan
katanya, demi apa menantu nenek tega meninggalkan nenek baik hati itu jualan
sendirian, sedangkan anak dan cucunya sedang merantau mencari uang. Sungguh
kehidupan sosial yang unik dan penuh inspirasi akan hidup. Ups! Aku lupa
menceritakan pertemuanku dengan anak kecil yang bermain sendirian dan menunggu
keluarganya berjualan sampai jam 3 dini hari, “lalu bagaimana sekolahnya?”
pikiranku tertuju pada pertanyaan itu, ternyata hanya saat weekend anak itu
bergadang sendirian dan bersenang senang sendirian. Apa ibunya tak takut
anaknya hilang ya?.
Perjalanan masih
berlanjut, padahal waktu sudah menunjukkan pergantian hari. Lelah, lapar, haus dan
mengantuk, mungkin itu yang dirasakan oleh anak-anak, kalau aku tak merasa lelah,
karena aku lebih suka jalan kaki dari pada naik angkot yang sesak, jalan dan
terus berjalan, menyusuri trotoar yang ada, sepi pada malam itu mematahkan
pendapatku tentang Surabaya itu kota 24 jam, nyatanya saat jam itu kendaraan
yang berlalu Lalang sangatlah sedikit, untuk tipe anak yang tak bisa diam,
malam itu sangat menyiksa, semua diam, terlalu fokus dengan rasa Lelah dan
fokus ke jalan, bukankah dengan bersemangat malah membuat perjalanannya semakn
singkat? Atau mungkin anak-anak mengantuk, kenapa aku belom capek? Kenapa aku
tak seperti yag lain? Bisa diam tanpa menunjukkan banyak ekspresi yang over,
aku sering bertanya pada diriku sendiri? Sifatku dapet dari mana? Sedangkan
keluargaku bisa mengontrol ekspresi mereka agar tak berlebihan.
Perjalanan ini
terasa sangat asing, semua diam sampai tujuan yang di maksud, dan ternyata ada
maksud khusus dari diam itu, kami akan memasuki kawasan rawan, siapa sangka
akan ada yang bertanya “siapa yang pernah berantem atau tawuran?” aku mulai mencerna
maksud ini, ternyata benar, kami akan masuk kedalam Kawasan dunia gelap, sisi
gelap Surabaya yang terkadang dipandang sebelah mata, ya “stasiun Wonokromo” aku
Cuma tau apa itu Dolly, dan aku tak pernah tau kalau di Wonokromo ada tempat
prostitusi seperti itu, dan partnerku sekarang adalah Yusron, wajahnya selalu
menunjukkan ketidak semangatan, dia berjalan denganku memasuki wilayah tersebut
dengan mata yang masih memerah karna mengantuk, “ku serasa berjalan dengan
seorang pecandu” pikirku dalam hati, pertama kalinya memasuki daerah ini aku
berpikir bahwa tempat ini elit, ternyata tak beda jauh dengan Waduk Gondang,
tempat wisata yang ada di daerahku, tak seasik yang aku kira, aku yang tomboy
dan biasa over tehadap apapun sedikit susah menyesuaikan diri dengan Yusron
pertamanya, karena memang Yusron tipe pasif, yang tak mau terlihat mencolok,
beda pemikiran denganku, ku mulai mencoba dengan tak tik awal, yaitu membaur
menjadi cewek nakal yang masih mengenakan hijab, ya mungkin perempuan bayaran
mengira aku anak sma, dan respon pertama yang aku dapat adalah “anak lebay” dan
tatapan jijik kearahku, oh, apa yang salah dari aku? Apa karena aku terlalu
berbaur atau emang karena aku salah kostum? Marah yang aku rasakan, aku tak
suka di ejek oleh orang yang lebih rendah dari pada aku, tapi aku sadar,
“jangan pernah macam-macam di kendang musuh” aku pun melanjutkan perjalananku,
menyusuri rel kereta api dengan Yusron, sesekali aku duduk dengannya di sebuah
taman kecil, dia merokok dan aku melihat sekeliling, terlalu banyak cowok
kencing sembarangan, sebenarnya aku biasa akan hal itu, tapi aku bertingkah
seolah olah malu melihat akn hal itu, aku pun mendekat ke Yusron, seolah merasa
risih dengan banyaknya pria yang kencing sembarangan, satu puntung rokok telah
dihabiskan oleh Yusron, aku melihat sekeliling lagi, untuk mengamati sekitarku,
“ramai” pikirku banyak pria dan wanita, bahkan berbagai umur, meskipun aku
belum pernah melihat anak sebaya denganku atau lebih muda denganku yang
menjajakan dirinya, aku melihat yang lain juga berusaha membaur, meskipun
terkesan kaku, tapi aku salut pada teman-temanku yang bias aku bilang
saudara-saudariku. Bahkan niat awalku itu mencari warung untuk mengcharger
hpku, hpku sekarat, tapi ternyata warung di Waduk Gondang lebih baik, disini cuma
ada warung biasa, warung bapak bapak yang tanpa wifi dan tanpa colokan listrik,
pantas saja aku belom melihat anak muda menjajakan diri disini, mereka lebih
memilih club malam yang memang lebih asik. Untuk warung, aku tetap pilih pilih
soal penjual karena aku sadar, penjual perempuan lebih menghormatiku dari pada
penjual pria, hanya satu yang aku takutkan, aku takut diracun atau bahkan takut
dikasih obat tidur, aku tak siap untuk hal itu, dan aku belum sepenuhnya
percaya kalau Yusron dapat menjagaku. Aku pun menemukan warung yang terlihat
terang, itu lebih aman dari pada warung lain yang pencahayaannya remang remang,
Yusron dan aku memesan kopi hitam, sambil menunggu kopi yang dibuat oleh ibu
penjual, seseorang datang padaku, seorang ibu yang aku pikir umurnya tak sampai
40, ibu itu cantik, tapi kenapa di menghampiriku? Ternyata ibu itu berniat
baik, bertanya padaku apa aku seorang pekerja atau pengunjung biasa, aku
bingung mau menjawab apa, diamku pun diketahui oleh ibu itu, sang ibu berbisik
lirih “dek, tempatmu bukan disini, adek masih muda, kalau sampai ketahuan
petugas kasihan adek dan keluarga adek,” dan ibu itu mulai memarahi Yusron, aku
cuma mendengarkan ocehannya, “harusnya adek gak mau diajak ketempat seperti
ini, cari tempat yang lebih layak”. Baik hati ibu ini, terbuka terhadapku, aku
tak perlu takut akan hal ini, rasa hangat kekeluargaan dan tatapan keibuan aku
dapatkan dari ibu ini. Ibu itu bilang kalau aku sama seperti anaknya, hatiku
tergetar, “ibu yang sangat sayang pada anaknya” pikirku, dan sang ibu pun mulai
bercerita tentang kehidupannya, pahit manisnya hidup, susahnya kehidupan
menjadi single parent dengan anak 9, anak yang sangat banyak menurutku,
sedangkan ibu hanya kerja seperti ini, menjual diri kepada pria hidung belang.
Aku suka suara ibu saat menyanyi, aku berpikir, kalau ibu menjadi biduan
dangdut bukannya lebih baik dari pada pekerjaan ini? Aku akui sangat-sangat
terharu dengan cerita sang ibu, matanya yang memerah hendak menangis tapi air
mata tak mau turun lagi, setiap ceritanya yang menggetarkan hati dan jiwa, aku
tak suka topik ini terlalu menusuk hati, sang ibu pun tau kalau topik ini
sangat tak cocok untukku, ibu itu mengalihkan topik dengan mengeluarkan hpnya
dan menunjukkan beberapa foto anaknya, mulai dari anak yang pertama hingga
terakhir, aku sangat suka anaknya yang terakhir, terlalu imut, polos dan tanpa
dosa, setiap fotonya menggambarkan kebahagiaan sanga nak yang tak tau kalau
ibunya berkerja menjadi wanita bayaran, anak-anak ibu masih lah sangat muda,
bahkan anak pertama sang ibu baru saja naik kelas 3 sma, pengorbanan
mati-matian sang ibu kepada anak-anaknya, aku salut pada ibu itu aku berharap
anaknya sukses dan mampu membahagiakan sang ibu, aku masih betah di warung itu,
melihat sekeliling dansesekali bercanda dengan Yusron, hingga aku melihat
seorang pria hidung belang mendekati sang ibu tadi, aku sedikit menjauh dari
ibu itu, tetapi masih mencoba mendengarkan pembicaraan sang ibu dan pria itu,
hingga aku sadar arah pembicaraan mereka adalah harga untuk si ibu, aku
mendengar nominal “90ribu” ya Allah, itu bayaran murah akan hal ini, bukannya
resiko yang di dapat sangatlah besar? Kena si ibu mau dengan bayaran segitu,
tak ampu menahan emosi yang bekecambuk didalam dada, aku pun mengajak Yusron
untuk berpindah tempat, berjalan lurus menyusuri rel lagi, sesekali bercanda
dan membicarakan hal apapun, melihat sekeliling, sambil menunggu waktu yang
disepakati diawal, ya aku hanya duduk di samping Yusron, bercerita soal ini
itu.
Adzan shubuh
berkumandang, tapi perjalanan masih terus berlanjut, aku masih mencoba mencerna keadaan, dengan mata yang
sembab dan Lelah, membuatku tak fokus akan keadaan, sampai aku sadar kami turun
di pasar waru. Aku suka mengamati orang-orang di pasar, beragam karakter
disana, tugas kali ini yang kami dapatkan adalah berbaur dan mewawancarai
pedagang serta pembeli di pasar ini, oh ini mungkin akan menjadi hal yang mudah
buatku, aku telah belajar banyak akan hal ini, ingatlah bahwa warga Indonesia
itu ramah-ramah katanya, “murah senyum, dan sopanlah, maka orang lain akan
sopan terhadapmu” aku memang jarang ke pasar, tapi untuk hal ini sangatlah
biasa buatku, aku mengamati teman-temanku yang sibuk dengan urusan mereka
sedangkan aku yang sibuk menjalin hubungan dengan pasar dan para pedagang
disini, aku diterima dengan baik, meskipun tak semua pedagang meresponku
positif, setidaknya aku sudah bersopan dan membangun image baik pada saat itu,
partner untuk saat ini adalah Safir, tak sopan sih tapi aku bilang ke dia untuk
berpencar dan ketemu lagi di tempat yang sudah aku dan safir sepakati, tau
betapa susahnya berbaur dengan membawa tas ransel di punggung? Sedangkan taka
da yang boleh tau kalau kamu seorang mahasiswa, setelah pembagian tugas, mataku
tertuju pada seorang ibu yang sedang membuat kerajinan tangan tanpa bantuan
mesin, aku hampiri ibu itu, “ramah” kesan pertama yang aku dapatkan, aku pun
memuji sang ibu dan bertanya akan hal ini itu, membantu sang ibu berjualan
hingga mendapatkan pembeli yang minat dengan dagangan si ibu, Alhamdulillah,
seperti apa yang aku katakan di awal, “anda sopan, orang lain pun akan sopan”
aku hamper dapatkan terang bulan gratis, ya meskipun kata orang rezeki gak
boleh ditolak, aku merasa tak pantas mendapatkan kebaikan dari si penjual
terang bulan itu. Dan ternyata berpencar dengan Safir sedikit merugikan aku,
aku kehilangan arah, mencari yang lain tetapi belum ketemu juga, sampai aku
harus istirahat di warung kopi, dan bertemu dengan pelanggan orang sunda yang
tak seberapa paham Bahasa jawa, pemilik warung itu sangatlah ramah, aku
bercengkrama dan bertanya akan hal ini itu, murah senyum dan humoris, meskipun
ketika bapak pemilik warung bertemu dengan temannya humornya berubah jadi
frontal.. bukankah tugasku di pasar ini sudah selesai dan aku masih belom bias
menemukan dimana Safir, aku pun menyerah untuk mencarinya, lebih memilih
menunggu dia yang datang menghampiriku.
Kata senior, ini
akan jadi perjalanan terakhir di hari ini, satu tempat lagi dan kami akan bebas,
kali ini kami berjalan kaki kembali, aku sudah menduga kalau kan ke terminal,
tapi apa yang akan kami lakukan di terminal? Dengan siapa kami akan membaur dan
wawancara?, pertanyaan kami pun terjawab, yaitu dengan supir, penumpang, dan
pedagang asongan, sisa satu cowok yang belum berpartner dengan aku, yaitu
Surya, dan ya memang dia yang akan menjadi partnerku, Surya sangat totalitas
dalam membaur aku salut dengan dia, terlalu membaur,dengan postur tubuh dan style
yang sangat-sangat mendukung, sedangkan aku pergi ke tempat kumpulnya pedagang
asongan, dengan pembicaraanku bersama perempuan yang bekerja sebagai pedagang
asongan, aku mendapat pelajaran kalau terminal sangatlah tak aman untuk perempuan,
apalagi perempuan muda sepertiku, penculik, penipu, pencopet dan lainnya banyak
di terminal, maka saran yang aku dapatkan adalah carilah tempat yang benar-benar
memberimu keamanan, karena perempuan itu sesuatu yang harus dijaga.
Sepertinya semua telah
selesai, apa benar-benar selesai? Ya! Sekarang tinggal kami menceritakan apa
yang kami dapatkan dari lokasi pertama sampai terakhir, aku suka bagian ini,
belajar dari pengalaman orang lain, menyimpulkan hal itu dan sesekali
memikirkan serta mendiskusikan hal itu, bukankah itu lebih menyenangkan dari pada
menulis dan membaca? Tapi terkadang mendengarkan juga termasuk hl yang membosankan,
tergantung dari cara penyampaiannya, bagian terakhir dari perjalanan ini
adalah, kami semua “GAGAL” aku tak heran akan hal itu, karna aku akui tak bisa mengontrol
salah satu kelakuan burukku saat diklat ini, tapi aku tetap mengatakn pada
diriku sendiri “AKU BERHASIL” karna aku mendapatkan hasil yang memuaskn dari
perjalanan ini.
ARIGATOU 😊
No comments:
Post a Comment