Kisah Panjang, 2 Hari ku


Surabaya, 15-16 September 2018



Aku tak pernah menyangka akan melakukan hal ini lagi, sebuah perjalanan yang rasanya pernah aku lakukan, ada hal berbeda dari perjalananku kali ini, aku tak sendiri ataupun aku tak bersama seseorang, tapi aku bersama mereka, manusia manusia unik yang telah aku anggap sebagai keluargaku sendiri, meskipun sekarang aku mulai meragukan hal itu, apa aku benar-benar telah mereka anggap sebagai keluarga atau hanya sekedar mahasisawa yang ikut diklat SM? Haruskah aku peduli akan hal itu? Jawabannya jelas iya!.
Perjalanan kecilku ini dimulai dari kampusku Universitas Trunojoyo setelah magrib, akan aku ceritakan semua secara rinci disini, apa yang aku alami, apa yang aku rasakan, susah senang dan ilmu apa yang aku dapatkan dari perjalanku ini. Pejalanan yang menguak arti kehidupan meskipun dari awal aku tak pernah tau tujuanku kemana, mereka pun senasib denganku, tak tau arah tujuan, hingga sebuah arahan dari senior yang mengatakan harus berjalan kaki sampai pertigaan tempat dimana para bemo mencari pelanggan untuk diantar.
Kami berbekal seadanya, siapa yang tau, dari kami tak ada yang mandi bahkan menyentuh air untuk cuci muka pun belom, kami berbekal satu botol minuman dan uang 50 ribu per anak, apakah itu cukup untuk perjalanan teka teki ini? Aku rasa ‘mungkin’ cukup untukku, tak tau untuk yang lain, aku menduga kami akan dipisah, individual, ternyata aku salah, semua uang bekal kami, di kumpulkan menjadi satu, inilah rasa kekeluargaan itu mulai di uji, bagaimana kami bisa berangkat bersama dan pulang dengan selamat bersama, kami pun mulai berjalan menuju arahan dari senior, aku tak merasa perjalanku itu jauh, aku suka jalan kaki, meng eksplor jalan dengan kakiku, meskipun ada kalanya aku iri dengan mereka, yang bisa meng eksplor jalan dengan motor mereka.
Aku akui ini perjalanan pertamaku bersama orang banyak, aku lebih sering sendiri atau berdua bersama teman smk ku dulu, dia yang mengajarkanku keberanian untuk naik angkutan umum sendiri, mengajarkanku tentang etika saat naik bis, bahkan dia yang mengajariku cara mengenali orang baik atau buruk di dalam angkot, dia gadis yang manis dan tempatku belajar banyak tentang arti kehidupan.
Baru sadar aku, ternyata malam ini adalah malam minggu, aku melihat beberapa hal kecil ketika malam minggu, tapi aku merasa ada yang berbeda dari malam ini, kenapa tak seramai minggu lalu? Kenapa jalanan tak sepenuh minggu? Apa karena banyak mahasiswa yang menjadi merpati dan pulang kesangkarnya? Iri aku akan hal ini, kenapa aku yang susah pulang? Kenapa kakakku semudah itu pulang? Aku mulai sering berpikir kegiatanku selama ini kayaknya hanya sia-sia.
Setiap langkah kaki kami, selalu di iringi canda tawa, kami sadar, kalau hanya berjalan kaki dalam diam hanya akan membuat perjalananmu merasa jauh dan lelah, aku sangat suasana ini, aku merasa nyata, merasa benar-benar ada, mungkin ini rasanya di anggap ‘ada’ oleh orang banyak, indah dan menyenangkan.
Kami sampai di pertigaan seperti arahan senior, kami mulai menunggu datangnya angkot, lama, aku benci menunggu, menunggu itu membuatku sesak nafas dan merasa seolah semestaku menyempit bahkan tak muat untukku. Aku mungkin lupa untuk memperkenalkan ‘kami’ disini, kami terdiri dari, aku Intan, Widya, Badria, Irma, dan Senly, serta anak cowok yang terdiri dari Surya, Amir, Ikhwa, Yusron dan Safir. Kami pas bersepuluh meskipun aku sempat berharap adinda dan kiki dapat mengikuti kegiatan ini. Aku rasa bukan hanya aku yang benci menunggu tapi kami pun benci dengan kegiatan itu, dengan modal berani kami berniat ikut menumpang perjalanan dengan pick up, tapi kenapa senior tak mau hanya karena alasan kurang sopan? Kurang sopan dalam hal apa?. Seharusnya angkutan umum ramai lalu lalang di malam minggu, bukannya malam minggu banyak mahasiswa yang masih ingin pulang? Atau si supir tau kalau mahasiswa lebih banyak yang pulang di malam jumat dan malam sabtu?. Kami menunggu dalam ketidak pastian lagi, menunggu angkot lewat yang ntah kapan itu tak ada yang tau, aku kira ini akan lama ternyata tuhan berpihak pada kami, angkot sepi dan bisa di nego pun kami dapatkan.
Di dalam angkot sangatlah sempit, ini salah satu alasan kenapa aku benci naik angkot, tapi mau gimana lagi, transport yang murah hanya angkot, poor intan! Terasa sangat lama perjalanan menuju pelabuhan atau hanya firasatku saja karena aku tak suka berlama lama di dalam angkot, kenapa aku susah sekali untuk diam?, kenapa aku tak bisa stay cool seperti Surya atau kalem seperti Senly? Aku benci ke heningan, keheningan hanya akan membuatku berpikir bahwa aku itu tak nyata, tak benar benar ada di antara mereka, maka dari pada senior yang terus berbicara, aku pun mulai mengikuti alur pembicaraan mereka, mulai dari bahasan esai, puisi sampai ke novel favorit, pembicaraan kecil seperti ini sangat efektif untuk melupakan sejenak kalau sedang dalam perjalanan menuju pelabuhan.
Pelabuhan di malam hari, tiga kata terlintas di pikiranku “tak seperti terminal”. Aku mengira bahwa pelabuhan akan seramai terminal, ternyata aku salah, meskipun aku tetap melihat beberapa pedagang dan perempuan malam di pelabuhan, hal berbeda dari apa yang aku liat adalah para pemancing di sekitar pelabuhan, ombak se kencang ini apa ada ikan? ini juga pertama kalinya aku naik kapal di malam hari, firasatku sudah tak enak, karena aku benci terombang ambing di lautan, itu semua membuatku pusing dan mual, apalagi kapal di malam hari sangat menakutkan, lautan yang gelap tanpa cahaya menambah kesan menyeramkan, aku benar-benar benci laut. Sudah kuduga, aku akan mabuk laut, meskipun tak sampai muntah, hanya sekedar mual dan pusing, ditambah hembusan asap rokok dari ikhwa dan amir yang duduknya tepat dibelakangku, menambah rasa tak nyaman di perjalanan, aku berharap segera sampai di pelabuhan selanjutnya, aku memang lemah dalam hal menaiki angkutan umum.
Sampai di sini aku mulai tau tujuan dari perjalanan ini yaitu TP, Tunjungan plaza tempatnya kaum elit dan ber gengsi tinggi, aku belom pernah ke sini dan ini pertama kalinya aku kesini, pertama yang aku liat dari TP adalah orang orang keturunan kaum kulit putih dan sipit, kenapa sangat mendominasi?. dan siapa sangka tugas awal baru di mulai dari sekarang, kami di pecah menjadi 5 kelompok, cewek dan cowok setiap kelompok di beri tugas untuk berbaur dan mewawancai tanpa harus ketauan kalau kami adalah seorang mahasiswa, betapa susahnya berbaur dengan makhluk makhluk sosial berkelas tinggi sedangkan style kami layaknya orang kampungan masuk mall, ingin ku mengeluh karena setiap perjalanku selalu dapet tatapan buruk, apa mereka berpikir kalau aku annoying? Menjijikkan? Unik? Atau aneh? Susah menebak pikiran manusia meskipun dari tatapan mata mereka sudah terlihat sangat jelas. Aku bahkan lupa menyebutkan kalau aku di TP di pasangkan dengan ikhwa, postur tubuh yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat seperti kakak, setidaknya style Ikhwa lebih mendukung dari pada aku, yang benar benar sukses untuk dinamakan wawancara adalah wawancara kepada cleaning service dan sekuriti, untuk pengunjung, jangan bertanya, aku gagal total, lebih banyak mendapatkan respon negatif, kenapa mereka banyak yang apatis?
Selesai sudah dari TP, senior memberi arahan lagi kepada kami, kemana tujuan kami selanjutnya? Menunggu lagi di halte, benar-benar malam yang menguji kesabaran, dengan kami, muka muka lelah yang bingung menunggu bus kota untuk ke tujuan selanjutnya, sebenarnya kemana arah tujuan kami? Apa itu hal yang dapat mengejutkanku? Jawabannya ternyata sangat simple yaitu Taman Bungkul, apa yang akan kami lakukan disini? Aku sudah menduganya kalau kami akan berbaur lagi, tak sama seperti kelompok yang telah di bagi di TP, aku mendapat partner berbeda yaitu amir, dia cowok yang banyak omong bila sudah kenal dekat, tetapi sangat pemalu dan susah mengawali suatu pembicaraan, susah-susah gampang berpartner sama Amir. Sampai saat ini aku lebih suka berbaur sendiri, susah bila Bersama partner karena partnerku saat ini sedikit susah untuk berbaur maka dari itu aku memilih sendiri dan menunggu partnerku menghampiriku untuk membantuku dalam mengumpulkan topik pembahasan, aku paling suka saat mewawancarai komunitas baca buku disurabaya. “TAMAN BACA MAHARDIKA” Namanya, pas banget aku bertemu orang yang ramah dan friendly seperti kak Gangsar, di liat dari tatapan mukanya, kak Gangsar sepertinya tau kalau kami mahasiswa tapi dengan sejuta alasan kami berbohong untuk menutupi hal itu. Hal buruk yang harusnya tak boleh aku lakukan, aku mulai bertanya tanya soal komunitas tersebut, mulai basa basi hingga hal serius seperti bisa kah aku membuka cabang komunitas baca buku untuk daerah kotaku, Lamongan? Kak Gangsar membalasnya dengan antusias “tentu saja boleh, kumpulkan anggota dan mari kita tingkatkan Indonesia membaca” oh sangat inspiratif sekali buatku. Wawancara berkesanku selanjutnya adalah saat aku mewawancarai nenek-nenek penjual kacang, demi apa aku yang tak punya uang harus mendapat pemberian dengan percuma dari seorang nenek? Harga diriku sebagai masyarakat yang mengerti keadilan sosial mana? Nenek tua penjual kacang itu terlalu baik, aku terharu melihat nenek masih berjualan di usia tak lagi muda, apalagi alasan nenek berjualan adalah alasan yang tak masuk akal, hanya ingin jalan-jalan katanya, demi apa menantu nenek tega meninggalkan nenek baik hati itu jualan sendirian, sedangkan anak dan cucunya sedang merantau mencari uang. Sungguh kehidupan sosial yang unik dan penuh inspirasi akan hidup. Ups! Aku lupa menceritakan pertemuanku dengan anak kecil yang bermain sendirian dan menunggu keluarganya berjualan sampai jam 3 dini hari, “lalu bagaimana sekolahnya?” pikiranku tertuju pada pertanyaan itu, ternyata hanya saat weekend anak itu bergadang sendirian dan bersenang senang sendirian. Apa ibunya tak takut anaknya hilang ya?.
Perjalanan masih berlanjut, padahal waktu sudah menunjukkan pergantian hari. Lelah, lapar, haus dan mengantuk, mungkin itu yang dirasakan oleh anak-anak, kalau aku tak merasa lelah, karena aku lebih suka jalan kaki dari pada naik angkot yang sesak, jalan dan terus berjalan, menyusuri trotoar yang ada, sepi pada malam itu mematahkan pendapatku tentang Surabaya itu kota 24 jam, nyatanya saat jam itu kendaraan yang berlalu Lalang sangatlah sedikit, untuk tipe anak yang tak bisa diam, malam itu sangat menyiksa, semua diam, terlalu fokus dengan rasa Lelah dan fokus ke jalan, bukankah dengan bersemangat malah membuat perjalanannya semakn singkat? Atau mungkin anak-anak mengantuk, kenapa aku belom capek? Kenapa aku tak seperti yag lain? Bisa diam tanpa menunjukkan banyak ekspresi yang over, aku sering bertanya pada diriku sendiri? Sifatku dapet dari mana? Sedangkan keluargaku bisa mengontrol ekspresi mereka agar tak berlebihan.
Perjalanan ini terasa sangat asing, semua diam sampai tujuan yang di maksud, dan ternyata ada maksud khusus dari diam itu, kami akan memasuki kawasan rawan, siapa sangka akan ada yang bertanya “siapa yang pernah berantem atau tawuran?” aku mulai mencerna maksud ini, ternyata benar, kami akan masuk kedalam Kawasan dunia gelap, sisi gelap Surabaya yang terkadang dipandang sebelah mata, ya “stasiun Wonokromo” aku Cuma tau apa itu Dolly, dan aku tak pernah tau kalau di Wonokromo ada tempat prostitusi seperti itu, dan partnerku sekarang adalah Yusron, wajahnya selalu menunjukkan ketidak semangatan, dia berjalan denganku memasuki wilayah tersebut dengan mata yang masih memerah karna mengantuk, “ku serasa berjalan dengan seorang pecandu” pikirku dalam hati, pertama kalinya memasuki daerah ini aku berpikir bahwa tempat ini elit, ternyata tak beda jauh dengan Waduk Gondang, tempat wisata yang ada di daerahku, tak seasik yang aku kira, aku yang tomboy dan biasa over tehadap apapun sedikit susah menyesuaikan diri dengan Yusron pertamanya, karena memang Yusron tipe pasif, yang tak mau terlihat mencolok, beda pemikiran denganku, ku mulai mencoba dengan tak tik awal, yaitu membaur menjadi cewek nakal yang masih mengenakan hijab, ya mungkin perempuan bayaran mengira aku anak sma, dan respon pertama yang aku dapat adalah “anak lebay” dan tatapan jijik kearahku, oh, apa yang salah dari aku? Apa karena aku terlalu berbaur atau emang karena aku salah kostum? Marah yang aku rasakan, aku tak suka di ejek oleh orang yang lebih rendah dari pada aku, tapi aku sadar, “jangan pernah macam-macam di kendang musuh” aku pun melanjutkan perjalananku, menyusuri rel kereta api dengan Yusron, sesekali aku duduk dengannya di sebuah taman kecil, dia merokok dan aku melihat sekeliling, terlalu banyak cowok kencing sembarangan, sebenarnya aku biasa akan hal itu, tapi aku bertingkah seolah olah malu melihat akn hal itu, aku pun mendekat ke Yusron, seolah merasa risih dengan banyaknya pria yang kencing sembarangan, satu puntung rokok telah dihabiskan oleh Yusron, aku melihat sekeliling lagi, untuk mengamati sekitarku, “ramai” pikirku banyak pria dan wanita, bahkan berbagai umur, meskipun aku belum pernah melihat anak sebaya denganku atau lebih muda denganku yang menjajakan dirinya, aku melihat yang lain juga berusaha membaur, meskipun terkesan kaku, tapi aku salut pada teman-temanku yang bias aku bilang saudara-saudariku. Bahkan niat awalku itu mencari warung untuk mengcharger hpku, hpku sekarat, tapi ternyata warung di Waduk Gondang lebih baik, disini cuma ada warung biasa, warung bapak bapak yang tanpa wifi dan tanpa colokan listrik, pantas saja aku belom melihat anak muda menjajakan diri disini, mereka lebih memilih club malam yang memang lebih asik. Untuk warung, aku tetap pilih pilih soal penjual karena aku sadar, penjual perempuan lebih menghormatiku dari pada penjual pria, hanya satu yang aku takutkan, aku takut diracun atau bahkan takut dikasih obat tidur, aku tak siap untuk hal itu, dan aku belum sepenuhnya percaya kalau Yusron dapat menjagaku. Aku pun menemukan warung yang terlihat terang, itu lebih aman dari pada warung lain yang pencahayaannya remang remang, Yusron dan aku memesan kopi hitam, sambil menunggu kopi yang dibuat oleh ibu penjual, seseorang datang padaku, seorang ibu yang aku pikir umurnya tak sampai 40, ibu itu cantik, tapi kenapa di menghampiriku? Ternyata ibu itu berniat baik, bertanya padaku apa aku seorang pekerja atau pengunjung biasa, aku bingung mau menjawab apa, diamku pun diketahui oleh ibu itu, sang ibu berbisik lirih “dek, tempatmu bukan disini, adek masih muda, kalau sampai ketahuan petugas kasihan adek dan keluarga adek,” dan ibu itu mulai memarahi Yusron, aku cuma mendengarkan ocehannya, “harusnya adek gak mau diajak ketempat seperti ini, cari tempat yang lebih layak”. Baik hati ibu ini, terbuka terhadapku, aku tak perlu takut akan hal ini, rasa hangat kekeluargaan dan tatapan keibuan aku dapatkan dari ibu ini. Ibu itu bilang kalau aku sama seperti anaknya, hatiku tergetar, “ibu yang sangat sayang pada anaknya” pikirku, dan sang ibu pun mulai bercerita tentang kehidupannya, pahit manisnya hidup, susahnya kehidupan menjadi single parent dengan anak 9, anak yang sangat banyak menurutku, sedangkan ibu hanya kerja seperti ini, menjual diri kepada pria hidung belang. Aku suka suara ibu saat menyanyi, aku berpikir, kalau ibu menjadi biduan dangdut bukannya lebih baik dari pada pekerjaan ini? Aku akui sangat-sangat terharu dengan cerita sang ibu, matanya yang memerah hendak menangis tapi air mata tak mau turun lagi, setiap ceritanya yang menggetarkan hati dan jiwa, aku tak suka topik ini terlalu menusuk hati, sang ibu pun tau kalau topik ini sangat tak cocok untukku, ibu itu mengalihkan topik dengan mengeluarkan hpnya dan menunjukkan beberapa foto anaknya, mulai dari anak yang pertama hingga terakhir, aku sangat suka anaknya yang terakhir, terlalu imut, polos dan tanpa dosa, setiap fotonya menggambarkan kebahagiaan sanga nak yang tak tau kalau ibunya berkerja menjadi wanita bayaran, anak-anak ibu masih lah sangat muda, bahkan anak pertama sang ibu baru saja naik kelas 3 sma, pengorbanan mati-matian sang ibu kepada anak-anaknya, aku salut pada ibu itu aku berharap anaknya sukses dan mampu membahagiakan sang ibu, aku masih betah di warung itu, melihat sekeliling dansesekali bercanda dengan Yusron, hingga aku melihat seorang pria hidung belang mendekati sang ibu tadi, aku sedikit menjauh dari ibu itu, tetapi masih mencoba mendengarkan pembicaraan sang ibu dan pria itu, hingga aku sadar arah pembicaraan mereka adalah harga untuk si ibu, aku mendengar nominal “90ribu” ya Allah, itu bayaran murah akan hal ini, bukannya resiko yang di dapat sangatlah besar? Kena si ibu mau dengan bayaran segitu, tak ampu menahan emosi yang bekecambuk didalam dada, aku pun mengajak Yusron untuk berpindah tempat, berjalan lurus menyusuri rel lagi, sesekali bercanda dan membicarakan hal apapun, melihat sekeliling, sambil menunggu waktu yang disepakati diawal, ya aku hanya duduk di samping Yusron, bercerita soal ini itu.

Sampai waktu yang disepakati, kami mulai bertukar cerita, pengalaman selama berada di Wonokromo, apa yang kami peroleh dari lokasi tersebut, pengalaman dari saudara-saudaraku menarik juga, aku masih suka pada pengalaman yang Surya dapatkan. yaitu bapak-bapak berpeci dan bersarung sangat-sangat terlihat agamis, ternyata tukang candu video porno “jangan nilai sesuatu dari covernya” pepatah yang cocok untuk apa yang diceritakan oleh Surya, untuk Ikhwa, aku lumayan kasian sama dia, karena baru pertama kali masuk, dia sudah di peringatkan oleh petugas, bukannya style Ikhwa sangat mendukung untuk jadi badboy? Para membaca harus tau, aku bukan lah tipe orang yang sabaran, aku sering menyela omongan demi omongan, aku akui itu tak sopan, tapi aku benar-benar kurang sabaran akan hal ini, akhirnya waktuku untuk bercerita, aku menceritakan semuanya pada saudara-saudara seangkatan dan para senior, hingga kami membuka forum sendiri dengan topik, “prostitusi di Indonesia” kami membuka pikiran akan hal itu, sampai suatu pembahasan yang membuat mentalku melemah dan terguncang, aku akui ketua forum ini bias membaca gerak gerikku yang tak nyaman akan topik ini, kami membahas tentang “LGBT”, aku sudah mengira kalau hal ini akan di singgung, dan aku sudah mengira kalau ada salah satu dari kami yang tak mau membuka mata dan pikirannya, aku tak mampu melanjutkan topik ini di forum yang katingku buat sekarang, air mataku mengalir sebelum aku benar-benar bisa merangkai kata untuk beragumen, aku tak mampu, aku mersaa terhakimi, padahal tak ada yang benar-benar menghakimiku, ku tak suka bila ada yang bilang LGBT adalah gangguan jiwa, maaf ini hanya masalah gangguan sexsual, mereka sadar sepenuhnya sadar, harusnya para pembaca tau, tak semua LGBT mau menjadi seseorang yang mengalami gangguan itu, ada banyak faktor yang mengakibatkan hal itu, dan aku benar-benar tersinggung bila ada yang menganggap LGBT itu gangguan jiwa atau bisa dibilang gila, mengapa kalian bisa se enak itu meng-cap seorang LGBT itu gila? Kenapa kalian para pembaca atau yang tak suka dengan LGBT mencarikan solusi atas masalah mereka? Terbukalah, dengarkan kata hati mereka.
Adzan shubuh berkumandang, tapi perjalanan masih terus berlanjut, aku masih  mencoba mencerna keadaan, dengan mata yang sembab dan Lelah, membuatku tak fokus akan keadaan, sampai aku sadar kami turun di pasar waru. Aku suka mengamati orang-orang di pasar, beragam karakter disana, tugas kali ini yang kami dapatkan adalah berbaur dan mewawancarai pedagang serta pembeli di pasar ini, oh ini mungkin akan menjadi hal yang mudah buatku, aku telah belajar banyak akan hal ini, ingatlah bahwa warga Indonesia itu ramah-ramah katanya, “murah senyum, dan sopanlah, maka orang lain akan sopan terhadapmu” aku memang jarang ke pasar, tapi untuk hal ini sangatlah biasa buatku, aku mengamati teman-temanku yang sibuk dengan urusan mereka sedangkan aku yang sibuk menjalin hubungan dengan pasar dan para pedagang disini, aku diterima dengan baik, meskipun tak semua pedagang meresponku positif, setidaknya aku sudah bersopan dan membangun image baik pada saat itu, partner untuk saat ini adalah Safir, tak sopan sih tapi aku bilang ke dia untuk berpencar dan ketemu lagi di tempat yang sudah aku dan safir sepakati, tau betapa susahnya berbaur dengan membawa tas ransel di punggung? Sedangkan taka da yang boleh tau kalau kamu seorang mahasiswa, setelah pembagian tugas, mataku tertuju pada seorang ibu yang sedang membuat kerajinan tangan tanpa bantuan mesin, aku hampiri ibu itu, “ramah” kesan pertama yang aku dapatkan, aku pun memuji sang ibu dan bertanya akan hal ini itu, membantu sang ibu berjualan hingga mendapatkan pembeli yang minat dengan dagangan si ibu, Alhamdulillah, seperti apa yang aku katakan di awal, “anda sopan, orang lain pun akan sopan” aku hamper dapatkan terang bulan gratis, ya meskipun kata orang rezeki gak boleh ditolak, aku merasa tak pantas mendapatkan kebaikan dari si penjual terang bulan itu. Dan ternyata berpencar dengan Safir sedikit merugikan aku, aku kehilangan arah, mencari yang lain tetapi belum ketemu juga, sampai aku harus istirahat di warung kopi, dan bertemu dengan pelanggan orang sunda yang tak seberapa paham Bahasa jawa, pemilik warung itu sangatlah ramah, aku bercengkrama dan bertanya akan hal ini itu, murah senyum dan humoris, meskipun ketika bapak pemilik warung bertemu dengan temannya humornya berubah jadi frontal.. bukankah tugasku di pasar ini sudah selesai dan aku masih belom bias menemukan dimana Safir, aku pun menyerah untuk mencarinya, lebih memilih menunggu dia yang datang menghampiriku.
Kata senior, ini akan jadi perjalanan terakhir di hari ini, satu tempat lagi dan kami akan bebas, kali ini kami berjalan kaki kembali, aku sudah menduga kalau kan ke terminal, tapi apa yang akan kami lakukan di terminal? Dengan siapa kami akan membaur dan wawancara?, pertanyaan kami pun terjawab, yaitu dengan supir, penumpang, dan pedagang asongan, sisa satu cowok yang belum berpartner dengan aku, yaitu Surya, dan ya memang dia yang akan menjadi partnerku, Surya sangat totalitas dalam membaur aku salut dengan dia, terlalu membaur,dengan postur tubuh dan style yang sangat-sangat mendukung, sedangkan aku pergi ke tempat kumpulnya pedagang asongan, dengan pembicaraanku bersama perempuan yang bekerja sebagai pedagang asongan, aku mendapat pelajaran kalau terminal sangatlah tak aman untuk perempuan, apalagi perempuan muda sepertiku, penculik, penipu, pencopet dan lainnya banyak di terminal, maka saran yang aku dapatkan adalah carilah tempat yang benar-benar memberimu keamanan, karena perempuan itu sesuatu yang harus dijaga.
Sepertinya semua telah selesai, apa benar-benar selesai? Ya! Sekarang tinggal kami menceritakan apa yang kami dapatkan dari lokasi pertama sampai terakhir, aku suka bagian ini, belajar dari pengalaman orang lain, menyimpulkan hal itu dan sesekali memikirkan serta mendiskusikan hal itu, bukankah itu lebih menyenangkan dari pada menulis dan membaca? Tapi terkadang mendengarkan juga termasuk hl yang membosankan, tergantung dari cara penyampaiannya, bagian terakhir dari perjalanan ini adalah, kami semua “GAGAL” aku tak heran akan hal itu, karna aku akui tak bisa mengontrol salah satu kelakuan burukku saat diklat ini, tapi aku tetap mengatakn pada diriku sendiri “AKU BERHASIL” karna aku mendapatkan hasil yang memuaskn dari perjalanan ini.

ARIGATOU 😊

No comments:

Lirik Lagu BAD LIAR | IMAGINE DRAGON

LIRIK LAGU IMAGINE DRAGON "BAD LIAR" Jadi sekarang itu aku lagi seneng banget sama lagu Bad Liar milik Imagine Dragon.. ...